Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
“Setelah kejadian terbunuhnya al-Husain, orang-orang membuat dua bid’ah:
- Bid’ah kesedihan dan ratapan yang dilakukan pada setiap hari ‘Asyura dengan menampar-nampar wajah, tangisan, kehausan dan lantunan syair kesedihan. Juga, hal-hal lain yang ditimbulkan oleh perbuatan-perbuatan ini, seperti mencaci dan melaknat para Salaf dan memasukan orang-orang yang tidak berdosa bersama pelaku yang sebenarnya, sampai mencela para Sahabat. Kemudian, cerita terbunuhnya al-Husain radhiyallahu ‘anhu, yang kebanyakan adalah kebohongan, dibacakan. Tujuan orang yang membuat acara ini adalah membuka pintu fitnah dan perpecahan umat. Kalau tidak demikian, maka apa maksud mereka mengulang-ulang pembacaan peristiwa ini setiap tahun dengan melukai diri sampai berdarah, mengagungkan dan bergantung kepada masa lalu, serta mengusap-usap kuburan.
- Bid’ah senang-senang dan gembira ria, membagi-bagikan manisan, dan menggembirakan keluarga pada hari terbunuhnya al-Husain radhiyallahu ‘anhu.
Kedua bid’ah itu dibuat karena pada saat itu di Kufah ada orang-orang yang membela Ahlul Bait, yang dipimpin oleh al-Mukhtar bin Abu ‘Ubaid, seorang pembual yang mengaku dirinya sebagai Nabi, dan ada pula orang-orang yang membenci Ahlul Bait, di antaranya al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi. Padahal bid’ah tidak boleh diberantas dengan bid’ah serupa, tetapi dengan menegakkan Sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam sesuai dengan perintah Allah ‘Azza wa Jalla: [...]